". Ya ampun.. Gue ngerasa bersalah banget Mey..." Saras mendesah pelan. Di sampingnya Amey tersenyum kecil. Berharap si sahabat tidak terlalu bersedih. Tapi untuk Saras itu sama sekali tidak membantu.
". Seharusnya gue gak segitunya ngerjain dia Mey, seharusnya gue diemin aja nie anak. Kalo udah kayak gini gue jadi nyesel banget." Saras menunduk dalam-dalam. Jarinya ngurek-ngurek telinga slippers kelincinya yang lucu.
Begitu Amey nelpon dan ngabarin kalo Dirga masuk rumah sakit dan harus operasi lambung, Saras yang waktu itu matanya udah hampir dianyam gara-gara ngantuk banget langsung loncat dari tempat tidur saking kagetnya. Hilang sudah rasa kantuknya dan berubah jadi rasa bersalah.
Boro-boro kepikiran harus ganti pake sandal apa. Saras bahkan tidak sempat melepas timun-timun yang lagi nongkrong di mukanya. Jangankan timun. Ganti piyama aja gak sempat.
". Gue tahu lo gak suka Dirga dan Dirga juga gak suka elo. Tapi jangan ngebales sampai keterlaluan kayak gini dong Ras." Muka Saras mendongak. Didapatinya Diko yang baru saja berbicara padanya. Walaupun Saras nggak denger nada nyalahin dari suara Diko, tapi itu bikin dirinya makin ngerasa bersalah sama Dirga yang kini belum juga keluar dari ruang operasi.
Ingatan Saras mulai melayang ke sekolah. Tepatnya mengingat kejadian tadi pas jam istirahat.
Waktu Amey gak merhatiin, Saras yang lagi kesel setengah mati sama Dirga langsung menuangkan sambal ke dalam mangkuk baso yang akan diberikan pada Dirga. Gak tanggung-tanggung, dia masukin semangkuk kecil sambal yang di temui matanya.
Sebenarnya terasa aneh juga bagi Saras. Dirinya yang dari esde doyan sambel bahkan tidak pernah merasa sakit perut. Apalagi nyampe operasi yang pasti gak pengen dialaminya. Jangankan ngalamin. Denger namanya aja Saras takut banget.
". Emm.. Diko, aku kok gak liat orang tuanya Dirga ya?." Amey bertanya heran. Tapi niatnya adalah mengalihkan pembicaraan. Amey tahu sekali perasaan Saras yang sensitif dengan hal-hal macam ini.
". Orang tuanya lagi ke Amerika. Perjalanan bisnis katanya. Tapi gue juga gak tahu sih." Jawab Diko santai. Beda banget sama mukanya yang ketara banget paniknya.
". Mereka gak dikasih tahu, Diko?." Tanya Saras parau.
". Gue gak tahu nomer telponnya. Tadi Dirga sakit lagi di rumah gue. Jadi gue langsung bawa kesini." Diko merasa tersentuh dengan Saras. Dia tahu banget Saras adalah orang yang sosialis abis. Kalo merasa yang dilakukannya benar pasti kemanapun akan di pertahankannya. Tapi kalo ternyata itu salah, cewek ini dengan senang hati akan meminta maaf atas kesalahannya.
". Ya udah, kalian pulang aja deh. Entar gue kabarin lagi." Diko mencoba menenangkan kedua sahabat ini.
". Gak bisalah Diko, gue yang salah disini dan gue harus minta maaf. Elo gimana sih." Saras menjawab ketus.
Diko cuma menggaruk kepalanya bingung. Lalu lampu ruang operasi mati dan pintupun terbuka.
* * *
". Serius lo Dik?."
Diko mengangguk optimis.
Dirga sudah sadar sejak 2 jam yang lalu. Di kamarnya hanya ada Diko yang sengaja gak masuk sekolah demi sahabatnya. Diko baru saja memberi tahu Dirga bahwa semalaman Saras dan Amey sengaja menungguinya disini dan baru pulang jam 4 subuh. Namun Dirga merasa itu wajar mengingat dosa Saras kepadanya. tidak sedikitpun hatinya tersentil akan ketulusan Saras.
". Wajarlah Dik. Diakan salah. Kalo di laporin ke polisi juga bisa." Ujar Dirga cuek.
". Ih Ga, jangan gitu lah... Saras juga gak sengaja. Nanti siang dia bakalan datang sendiri abis pulang sekolah. Soalnya si Amey ada keperluan." Diko duduk si sofa sambil memejamkan matanya.
". Emangnya apa urusan gue? mau dateng atau kagak gue juga gak undang dia kok." Tanggap Dirga sinis.
". Iya gue tahu. Tapi senggaknyakan dia udah punya niat baik mau minta maaf sama elo. Sekarang terserah elolah mau maafin dia atau kagak. Buat yang satu ini gue gak ikut-ikutan." Diko tak beranjak dari duduknya. Dirga menoleh dan menyangka temannya itu tertidur.
". Gue balik dulu ya Dir. Entar kan ada si Saras. Lo minta temenin dia aja ya." Diko bangkit dan memakai jaketnya lalu nyelonong keluar ruangan. Meninggalkan Dirga yang tidak mengatakan apapun.
* * *
Saras ragu-ragu masuk ke dalam rumah sakit itu. Dia hanya memandang bangunan gede di depannya dengan bingung. Saras baru akan melangkah ketika dilihatnya Diko keluar dari pelataran perkir sambil mengemudikan mobilnya. Akhirnya Saraspun memberanikan diri masuk ke dalam rumah sakit itu. Tapi begitu sampai di ruang rawat Dirga, keraguannya muncul lagi. Ini aneh, mengingat dirinya bukan orang yang susuh mengucapkan kata maaf.
Tapi dalam kasus Dirga lain. Sarsa membenarkan pikirannya. Dirinya merasa tidak pernah begitu membenci orang seperti kepada Dirga. Saras merasa Dirga adalah orang yang hatinya terlalu atu untuk melihat ketidak adilan yang walaupun sepele tapi bertebaran disekelilingnya. Karena itulah Saras merasa tepat ketika dia ngerjain Dirga dengan joke yang gak lucu tapi bisa bikin anak itu tahu diri.
Yang tidak Saras antisipasi adalah dampaknya. Ini di luar perkiraan Saras. Dan Saras harus berbesar hati menerima konsekuensi apapun atas perbuatannya itu.
Tok.. tok.. tok..
Tanpa menunggu dipersilahkan, Saras masuk yang langsung disambut tatapan dingin, tajam dan menusuk dari Dirga. Ternyata walaupun sedang sekit anak ini tetep punya aura jelek.Batin Saras.
". Ngapain lo kesini?." Sembur Dirga ketus. Namun Saras tetap melangkah mendekati Dirga. Tidak meenyadari bahwa kehadirannya tidak diinginkan. Juga tidak menyadari Dirga bergerak-gerak risi.
". Dirga, gue minta maaf. Gue tahu gue salah dan tindakan gue waktu itu emang keterlaluan banget. Waktu itu gue ngerasa kesel banget sama elo.Dan gue bertindak kayak gitu cuma spontan aja. Gue minta maaf banget sama elo, Dirga." Saras mendesah pasrah sambil menatap Dirga penuh harap. Harapan untuk bisa dimaafkan.
Tapi Dirga cuma diam saja. Bengong. Dirinya terlalu terkesima dengan penuturan frontal dan blak-blakkan ala Saras. Dikiranya anak ini bakal ngerajuk, atau bahkan mengancam, mungkin.
Tapi ternyata Dirga hanya mendengar desahan pasrah dari perempuan yang setengah mati dia sebelin ini. Seolah anak ini siap meski harus dijadikan kambing guling sekalipun. Dan hati Dirga, walaupun hanya setitik, merasa terketuk dengan jiwa besar Saras yang selama ini luput dari pandangannya. Mungkin inilah waktunya untuk saling melunturkan warna-warni kebencian yang selalu melumuri dinding hati masing- masing.
* * *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Nyok komen2...!!! ^_^