". Iyalah gue. Lo pikir setan." Dinda memukul bahu Tora.
". Nggak, gue ngerasa aneh aja. Ternyata lo..baik." Tora bergumam pelan sambil memalingkan wajahnya. Malulah kalo ketahuan mukanya merah sama Dinda.
Tora teringat dengan semua pandangan negatifnya tentang Dinda. Selalu hanya Aluna yang terbaik di benaknya. Anak baik seperti Aluna pasti dari keluarga baik-baik. Dan anak sombong seperti Dinda adalah tipikal orang yang memandang orang lain sebelah mata.
Tunggu...
Aluna? Ya Tuhan, kenapa Aluna menghilang dari pikirannya saat dia bersama Dinda? Kenapa duduk berdua dengan Dinda di lantai koridor membuatnya betah? Padahal Tora adalah orang yang menjunjung tinggi kebersihan.
". Sori ya Din. Tapi gue beneran heran kenapa lo sekarang beda banget dengan lo di sekolah?." Tanya Tora penasaran. Dinda tertawa. Dan Tora tidak sadar jika itu pemandangan yang paling ingin dilihatnya sekarang.
". Menurut gue sama aja sih Tor. Gue sadar gue sombong banget di sekolah. Gue emang pengen banget semuanya terlihat sempurna. Tapi bukan berarti mandang rendah orang lain. Gue gak munafik kok. Kalo gue sebel, gue bakal bilang sebel. Dan kalo suka, tentu gue bilang suka." Dinda memandang lurus sambil tersenyum. Tidak tahu Tora sedang menatapnya penuh kagum.
". Wow..ada juga sisi kemanusiaan dalam diri lo ya." Tora mencoba bercanda.
". Gila lo. Emang selama ini lo pikir gue apa?." Dinda cemberut.
". Gue pikir lo cewek tajir gak berperasaan yang cuma bisa ngabisin duit ortu buat hura-hura." Dan Tora sama sekali tak peduli apa perasaan Dinda saat mendengar perkataannya. Dia hanya ingin terlihat jujur di mata Dinda.
". Gue yakin semua orang mikir gitu. Gue tahu gue kaya. Tapi gue gak pinter. Dan gue berusaha bikin semuanya seimbang dalam pandangan gue. Dalam harta orang kaya ada hak orang gak mampu. Dan gue seneng bisa bantu mereka." Dinda menjawab tanpa merasa malu apalagi gengsi di depan Tora.
Dan kini Dinda bak dewi yang baru turun dari langit di depan Tora. Runtuh sudah semua pikiran buruknya terhadap Dinda selama ini.
". Eh, gue rasa pengobatannya udah selesai. Yuk!." Dinda berjalan pergi meninggalkan Tora yang masih bengong.
* * *
". Ya ampun, gak usah bilang makasih terus. Sayakan jadi gak enak." Dinda memapah ibu itu dengan hati-hati dan penuh sayang.
". Ibu gak tahu harus balas apa untuk kebaikan kamu." Kata ibu itu.
". Bu, Ibu udah mau nerima bantuan saya saja saya udah senang. Ibu tunggu sebentar ya, saya mau ngambil mobil dulu." Dinda hampir mendudukkan ibu itu di kursi ketika tangan Tora menahannya.
". Biar pake mobil gue aja Din. Mobil lo kan mogok." Tawar Tora. Dinda tersenyum kaget. Dibenaknya ketua OSIS satu ini adalah robot yang kebetulan berwujud manusia. Alias gak punya hati.
". Makasih Tora. Tapi tas gue ketinggalan di mobil." Jawab Dinda ragu.
". Biar gue ambilin. Mana kunci mobil lo?." Tora mengulurkan tangannya. Dinda merogoh sakunya dan menyerahkan kunci mobil.
". Pacar kamu juga baik Nak." Ujar ibu itu setelah Tora meninggalkan mereka. Pipi Dinda memerah.
". Bukan pacar bu. Teman satu sekolah." Bantah Dinda.
". Oh bukan ya. Maafin ibu Nak. Habis kalian cocok sekali." Ibu itu merasa bersalah. Dinda tersenyum hangat.
". Gak apa-apa ko bu. Tapi... saya juga yakin dia orang baik." Dinda mengulum senyum manisnya.
* * *
Setelah mengantarkan ibu itu pulang dengan diiringi isak halus Dinda yang prihatin dengan rumahnya yang terlalu mungil kalau tidak dibilang kumuh, Tora mengantar Dinda menengok mobilnya yang masuk bengkel.
". Gue anter lo pulang deh Din. Lo gak mungkin nungguin mobil lo semaleman kan?." Tawar Tora gugup. Tora bahkan baru sadar jika dirinya tak pernah menawari perempuan lain pulang.
". Mmm... makasih Tora. Tapi gak usah. Entar malah ngerepotin." Tolak Dinda halus. Heran dirinya yang tukang gonta-ganti pacar jadi jaim gini.
". Gak apa-apa. Lagian gue gak tegalah, masa ninggalin cewek sendirian. Di bengkel, lagi." Tora tertawa kikuk.
". Ya udah kalo gak ngerepotin." Kata Dinda.
". Kita pulang sekarang aja. Takut kemaleman." Tanpa sadar Tora menarik halus tangan Dinda mendekati mobilnya. Keduanya merasa ada kupu-kupu joget dalam perut mereka.
* * *
". Tora, kok lo tahu gue di rumah sakit?." Di ujung sore mereka sudah sampai di depan rumah Dinda. Dinda kaget mengetahui dirinya sedang mencari cara untuk berlama-lama dekat dengan Tora.
". Oh...itu..." Tora gugup sendiri dirinya di tembak pertanyaan seperti itu. Tapi toh Tora jujur juga.
". Pulang dari SMA Angkasa gue liat lo nolong ibu-ibu di pinggir jalan. Akhirnya gue ikutin elo ampe rumah sakit." Jawab Tora sedikit malu.
". Kalo gitu kenapa lo gak turun nolongin gue? Lo liatkan waktu berandalan itu pada nyolot? Lo kan bisa bantuin gue. Seenggaknya kaliankan cowok." Hei, sejak kapan Dinda marah karena gak ditolongin cowok?
". Itu...gue juga gak yakin sih. Tapi gue rasa gue terlalu terpesona sama sosok lo waktu itu." Tora memberanikan diri menatap Dinda. Dirinya merasa seperti anak ingusan yang lagi napsu godain cewek.
Dinda termenung.
Jika lelaki lain yang mengatakannya Dinda pasti akan terkesan sedikit gampangan. Tapi jika pengakuan yang terasa jujur ini datang dari mulut si pendiam Tora, Dinda mati kutu.
". Tora.." Hanya itu yang keluar dari mulut Dinda.
Dan mereka makin berdekatan.
* * *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Nyok komen2...!!! ^_^